JAKARTA, mataberita.co.id__ Sehubungan dengan ancaman defisit APBN yang kian melebar dari tahun ke tahun, salah satu upaya Pemerintah adalah memburu piutang dari sejumlah obligor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Untuk itu, Presiden Jokowi membentuk Pokja dan Sekretariat Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI lewat Keppres No 6/2021 (April 2021). Satgas antara lain bertugas menangani dan memulihkan hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti yang merugikan negara sekitar Rp 110,4 triliun.
Munculnya persoalan ini berawal ketika krisis moneter 1997-1998, Bank Indonesia mengucurkan dana BLBI hingga Rp 144 triliun untuk menyelamatkan likuiditas perbankan saat itu. Namun, karena krisis yang dialami perbankan sangat dalam, Pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi rekap hingga mencapai Rp 498 triliun. Nah, untuk mengembalikan dana yang menjadi hak negara, Satgas BLBI itu diberikan waktu sampai 31 Desember 2023. Satgas bekerja dengan menggunakan seluruh instrumen yang dimiliki negara untuk mengembalikan dana BLBI.
Satgas BLBI hingga kini sudah mendapatkan sitaan aset tanah sebanyak 49 bidang, seluas 5.291.200 m2. Aset itu berupa 44 bidang tanah di Karawaci, Tangerang, seluas 251.992 m2, lahan di Medan 3.295 m2, dua bidang lahan di Pekanbaru 31.493 m2 dan dua bidang lahan di Bogor seluas 5.004.420 m2. Bila asumsi rata – rata harga tanah Rp 500.000 per m2, lahan itu ditaksir sekitar Rp 2,64 triliun.
Meski dana dari para pengemplang BLBI bermanfaat untuk menambal defisit APBN, langkah Pemerintah itu sangat terlambat. Sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam waktu terlalu lama. Muncul pertanyaan, mengapa baru sekarang akan dikejar tuntas, setelah lebih dari dua dekade? BLBI ini sudah dikucurkan lebih 22 tahun lalu dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sudah dibubarkan sejak 17 tahun lalu.
Kita ingat, di saat pemerintah Presiden BJ Habibie, penyelesaian utang BLBI pernah dilakukan melalui prinsip out of court settlement. Penyelesaian di luar pengadilan itu dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yang terdiri atas Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) dan Akta Pengakuan Utang (APU).
KLIK JUGA : PPKM Longgar, Ekonomi Tetap Hati-Hati
MSAA ditandatangani oleh lima obligor, yaitu Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risyad. Total program MSAA mencapai Rp 85,9 triliun. Kemudian untuk MRNIA ditandatangani oleh empat obligor yaitu Usman Admadjaja Rp 12,5 triliun dari total Rp 23,8 triliun. Yang lain, Kaharudin Ongko Rp 8,3 triliun, Samadikun Hartono Rp 2,7 triliun, serta Ho Kiarto dan Ho Kianto Rp 297,6 miliar.
Sementara itu, meski ada 44 bidang tanah seluas 251.992 m2 yang berlokasi di Perumahan Lippo Karawaci, Tangerang, yang disebut Satgas BLBI dalam sitaannya, PT Bank Lippo Tbk selama beroperasi tidak pernah menerima BLBI. Apalagi perusahaannya yang lain yang nonbank. Karena itu, pemilik Grup Lippo tidak termasuk obligor BLBI yang disasar oleh BPPN, maupun lembaga yang menggantikannya.
Patut diketahui, lahan tersebut sejak 2001 juga sudah dimiliki secara hukum dan dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, tidak benar ada penyitaan atau perampasan lahan yang bisa berkonotasi negatif atau bahkan menimbulkan hoaks yang merugikan.
Karena itu, untuk penyelesaian penagihan BLBI ke depan, Pemerintah perlu memperhatikan pendapat pengusaha yang bergabung dalam Kadin Indonesia, yang selama ini menjadi mitra dalam membantu penanganan Covid-19 maupun pemulihan ekonomi nasional. Ini penting untuk mengedepankan dialog dan musyawarah untuk mencapai solusi terbaik.
Selain itu, obligor yang sudah mendapatkan release and discharge yang sah, harus dilindungi dan mendapatkan kepastian hukum. Mereka ini harus mendapatkan hak kebebasannya, jangan lagi maju mundur dijerat kasus hukum menyusul pergantian rezim pemerintahan. (Firdaus, Alumnus Fisip UI)
Discussion about this post