Meski pandemi Covid-19 belum berakhir di dalam negeri, tekad pemerintah dan DPR untuk menggulirkan reformasi perpajakan tampaknya tidak kendur. Apabila tak ada aral melintang, DPR bakal mengesahkan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang sekarang berubah nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pada pekan ini.
RUU HPP merupakan salah satu hasil kerja cepat yang dilaksanakan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan di bidang perpajakan. RUU ini dibahas secara intens di DPR sejak Mei, artinya hanya dalam tempo empat bulan, RUU HPP berhasil diselesaikan pemerintah.
Berbeda dengan pembahasan RUU lainnya, pembahasan RUU HPP di parlemen berlangsung ‘sunyi’ dan singkat. Para awak media bahkan terkejut saat mendapat informasi dari Kemenkeu bahwa RUU tersebut sudah siap disahkan pada pekan ini (jika taka da perubahan waktu).
Pembahasan RUU HPP sempat memicu polemik ketika muncul kabar bahwa bahan kebutuhan pokok dan lembaga pendidikan tertentu bakal dikenai pajak tambahan. Namun, setelah itu, pembahasan RUU HPP di DPR berlangsung ‘sunyi’ dan hampir tak ada kontroversi.
Kita tentu mengapresiasi keberhasilan pemerintah kerja cepat menyelesaikan RUU HPP di DPR. Pembahasan yang singkat, tanpa kegaduhan, adalah bukti bahwa pemerintah berhasil meyakinkan DPR tentang pentingnya RUU HPP bagi kesinambungan ekonomi ke depan. Pemerintah berhasil menciptakan komunikasi yang cair dengan DPR. Namun, tanpa prasangka, kita tentu wajar bertanya-tanya; mengapa pembahasan RUU HPP jauh dari hingar bingar?
Apalagi RUU HPP memuat sejumlah poin krusial, yang turut menentukan nasib korporasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta hajat hidup rakyat ke depan. RUU HPP antara lain mengamanatkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan naik kembali menjadi 12% pada 2025, dibanding 10% saat ini. Kenaikan tarif PPN merupakan bagan dari PPN multitarif 5-15% yang akan diterapkan pemerintah.
Dengan demikian, saat tarif pajak sejumlah barang naik, tarif pajak barang lainnya akan mengalami penurunan. Hal lain yang tak kalah penting dalam RUU HPP adalah batalnya penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 20% pada 2022 dari saat ini 22%.
Penurunan tarif PPh badan digariskan Peraturan Pemerintah (PP) No 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif PPh Badan Dalam Negeri Berbentuk Perseroan Terbatas (PT), di mana perusahaan terbuka mendapat tambahan insentif PPh sebesar 3% sehingga menjadi 17%.
Batalnya penurunan tarif PPh badan cukup mengejutkan. PP No 30 Tahun 2020 diterbitkan khusus untuk membantu dunia usaha. Beleid ini merupakan turunan UU No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan menjadi UU.
RUU HPP juga menetapkan tarif PPh orang pribadi sebesar 35% bagi wajib pajak (WP) dalam negeri berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Dengan demikian, lapisan penghasilan kena pajak bertambah menjadi lima lapis, yakni lapis pertama sebesar 5% (penghasilan minimal Rp 60 juta), lapis kedua 15% (Rp 60 juta – Rp 250 juta), lapis ketiga 25% (Rp 250 juta – Rp 500 juta), lapis keempat 30% (Rp 500 juta – Rp 5 miliar), dan lapis kelima 35% (di atas Rp 5 miliar).
Isu penting lainnya dalam RUU HPP, adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) untuk kedua kalinya. Pengampunan pajak yang diberi label pengungkapan sukarela wajib pajak (WP) kali ini akan diterapkan selama 6 bulan, mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Pengampunan pajak berlaku bagi harta yang diperoleh WP sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Sementara tax amnesty pertama pernah diberlakukan pada 2016-2017.
Discussion about this post