JAKARTA, mataberita.co.id__ Segera menjadikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai Pengadilan Khusus Pemilihan Umum (Pemilu). Pada saat ini memang disadari. Bahwa sebagai wadah penyelesaian internal pemerintahan, Bawaslu sudah berperan sebagai penerima, pemeriksa dan penyelesaian hampir semua sengketa baik Rezim Pemilu maupun Rezim Pemilihan. Namun, ternyata masih sebagai kuasi peradilan. Dalam keadaan sekarang, ada beberapa ketentuan Pasal dalam UU Pemilu dan Pemilihan yang menyebabkan Bawaslu kurang maksimal berfungsi.
Seolah kedudukan Bawaslu tidak penting dalam proses penyelenggaraan Pemilu terutama saat terjadinya sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebagai pelaksana upaya administrasi dan yang memutus sengketa pemilu dan pemilihan tertentu yang harus diselesaikan lebih lanjut ke Peradilan Tata Usaha Negara, baik yang diajukan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara maupun ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, justru yang menjadi objek sengketa atalah keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Bahkan sama sekali keputusan Bawaslu tidak diuji pada Badan Peradilan.
Hal itu disampaikan oleh Disiplin F. Manao yang merupakan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta usai Rapat Lanjutan Sinergitas Antar Lembaga dalam Persiapan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu tahun 2024. Yang mana dilaksanakan pada Senin (18/10/2021) di Take’s Hotel Thamrin, Jakarta Pusat. Dia menjelaskan. Bahwa benar sesuai jadwal yang disepakati dan diatur dalam keputusan KPU proses penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan merupakan agenda panjang yang luar biasa pembatas waktu ke waktu.
“Pengalaman adalah maha guru. Kiranya pengalaman pada penyelenggaraan Pemilihan (Rezim Pilkada) yang lalu menjadi pelajaran berharga. Dimana pesta demokrasi sudah berlangsung. Namun proses persidangan di Mahkamah Agung (Kasasi) masih berlangsung. Pilkadanya sudah jalan prosesnya seperti pencetakan nama, pembagian surat – surat suara dan sebagainya. Namun persidangan masih berlangsung. Karena ada ketentuan paling lambat 30 hari sebelum pesta demokrasi berlangsung,” jelas pria yang juga aktif berorganisasi kemasyarakatan di Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) dan Forum Nias Selatan (Fornisel).
KLIK JUGA : Aturan Masuk Tempat Wisata
Pria yang aktif melayani Tuhan sebagai pendeta itu juga menyayangkan kejadian Rezim Pilkada lalu. “KPU sudah harus mencetak kerta suara, membagi dan mendistribusikan ke seluruh wilayah sedangkan persidangan masih berlangsung di Mahkamah Agung. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya komunikasi dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Termasuk Badan Peradilan ketika merancang jadwal (schedule) pelaksanaan pemilihan dengan terinci, runut dan cukup leluasa. Sehingga tidak terkesan semua terlaksana dengan tergopoh – gopoh,” terangnya.
“Demokrasi itu seharusnya bisa elegan. Biar semua terjadi dan terlaksana pada waktunya. Ada kata pepatah, ‘semua indah pada waktunya’. Beberapa tahun lalu, karena Pasal 1 angka 26 UU Nomor 8 Tahun 2015 menentukan hari adalah Hari Kalender, maka Hari Sabtu dan Minggu harus dilaksanakan bersidang di PTTUN Jakarta. Pada hal sesuai dengan ketentuan hari kerja di DKI Jakarta adalah 5 hari dalam seminggu dan Sabtu Minggu adalah libur. Dimana pada hari tersebut selain istirahat juga hari bersama keluarga terkasih. Akibat dipaksakan 7 (tujuh) hari kerja dalam seminggu, maka banyak yang jatuh sakit. Kata orang bijak, semua indah pada waktunya. Ada waktu bekerja dan ada pula waktu istirahat,” ungkap Disiplin F. Manao
Manao sapaan akrabnya itu juga menjelaskan bahwa pentingnya istirahat dalam seminggu. “Sesungguhnya hari ke-7 dalam seminggu, yaitu Hari Sabtu adalah hari Sabat, hari perhentian,” imbuhnya. Lalu menurutnya, sesuai dengan judul acara ini adalah Rapat Lanjutan Sinergitas Antar Lembaga dalam Persiapan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu 2024 ini penting dan sangat urgent. Tak lain untuk membangun sinergi dalam bentuk komunikasi dan koordinasi dengan semua pihak yang terlibat. Yang mana dengan semangat tetap pada posisi masing – masing sebagai penyelenggara negara sesuai kapasitas masing – masing baik sebagai eksekutif, sebagai legislatif maupun sebagai yudikatif dan Badan Pengawas.
“Sinergi jangan pula dimaknai antar lembaga bisa kongkalikong alias kerjasama dalam mencapai tujuan yang tidak baik. Jangan ada main mata,” Manao menegaskan. Dia pun pula menyampaikan. Dengan membandingkan Pengadilan Pemilu (Election Court) di Amerika dan beberapa negara lain maka segera menjadikan Bawaslu sebagai Pengadilan Pemilu. Agar bisa mengefektifkan dan mengefisienkan penyelesaian sengketa pemilu dan sengketa pemilihan satu pintu dan terintegrasi. Tidak seperti sekarang, terlalu banyak lembaga yang yang terlibat dalam penyelesaian sengketa Pemilu dan Pemilihan. Yang mana membawa konsekwensi banyak juga anggaran negara yang kebutuhan.
“Sudah sejak diundangkannya UU Pemilu dan Pemilihan saya serukan. Agar segera membentuk Pengadilan Khusus Pemilu dan Pemilihan. Menurut Pak Doktor Ilmu Hukum cebolan Universitas Katolik Parahyangan Bandung seharusnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat dijadikan cikal bakal pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dan Pemilihan di Indonesia. Bayangkan, yang mengurus Pemilu di negara ini terbanyak di dunia. Sudah ada KPU, Bawaslu, DKPP, Pengadilan Umum dalam hal ini Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Konstitusi,” papar pria yang mudah tersenyum ini.
Pria yang hobinya bermain golf ini juga menekankan. Bahwa semakin banyak lembaga justru semakin banyak anggaran negara yang dikucurkan secara elegan. “Pimpinan masing – masing Lembaga dan seluruh Aparatur yang bekerja membutuhkan fasilitas, perkantoran, gaji dan belanja. Yang setidak – tidaknya setiap pimpinan mendapat fasilitas kendaraan setingkat eselon 1 paling tidak, Camry. Jadi makin banyak lembaga, makin banyak uang negara ini disalurkan untuk memenuhi kebutuhan riil masing – masing lembaga. Sedang hasil penyelesaiannya, belum tentu seiring sejalan,” ungkapnya.
“Azas utama dalam sistem hukum administrasi, kalau penerbitan suatu keputusan atau tindakan tata usaha negara (keputusan atau tindakan) secara prosedural mengandung cacat hukum, maka tanpa mempertimbangkan substansi, keputusan atau tindakan administrasi tersebut batal demi hukum. Sebagai contoh ada sengketa proses Pemilu dan Pemilihan. Yang sesuai semangat Undang – Undang administrasi, pemerintahan harus terlebih dahulu diselesaikan secara internal pemerintakan sebagai penyelesaian utama (premium remedium) melalui Bawaslu. Dan atas keputusan Bawaslu ada pihak yang tidak terima, tidak puas,” kata pria yang tampil eksentrik ini.
Pria asal Kepulauan Nias (Kepni) juga menambahkan. Bahwa proses panjang gugatan sengketa Pemilu dan Pemilihan itu bisa menjadikan kacau. “Masuklah gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, diperiksa dan diputus. Kemudian pihak yang kalah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan diputus dengan dictum. Bahwa sengketa proses pemilu dan pemilihan tersebut cacat hukum secara procedural. Akan tetapi hasil Pemilu dan Pemilihan tersebut dibenarkan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sungguh kacau dan tidak menjamin kepastian hukum bagi masyarkat pencari keadilan,” jelasnya.
Hakim Tinggi PTTUN Jakarta pun menegaskan. Bahwa dia bersama kelembagaan PTTUN memiliki mimpi besar. Yaitu segera dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu yang mencontoh negara – negara maju seperti Amerika Serikat. Sebab, menurutnya, semakin banyak lembaga yang terlibat dalam urusan Pemilu dan Pemilhan justru bisa menimbulkan kekacauan. Di Amerika, hanya ada satu lembaga yang mengadili apapun persoalan Pemilu. “Kenapa kita tidak bisa mencontoh negara – negara yang lebih maju? Sebab, semakin banyak yang menangani suatu persoalan itu bisa semakin kacau,” tuturnya.
” Jadi seperti bukan lagi negara hukum melainkan negara kepentingan. Marilah sepakat menjadikan Bawaslu sebagai Pengadilan Khusus Pemilu dan masih ada waktu walau sempit untuk membenahi dan merencanakan pelaksanaan pesta demokrasi yang lebih baik. Yaitu dengan membangun sinergitas antar lembaga, antar semua pemangku kepentingan melalui komunikasi dan koordinasi yang jujur, baik dan terbuka serta pemikiran sebagai negarawan,” tandas suami dari Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kadivmin Kanwil Kemenkumham) DKI Jakarta Sorta Delima Lumban Tobing itu.
Discussion about this post