JAKARTA, mataberita.co.id__ Pada (14/09/2021) silam, empat kader Partai Demokrat yang terlibat dalam Kongres Luar Biasa (KLB) mengajukan Gugatan Uji Materi AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Kondisi ini menambah permasalahan setelah polemik KLB yang menunjuk Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) sebagai Ketua Umum melawan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dalam gugatan ini, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ditunjuk sebagai Kuasa Hukum. Kini, masih menunggu ketok palu MA. Uji materi menjadi pembuktian kompetensi.
Dalam gugatannya, perubahan AD/ART Demokrat 2020 tidak sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Partai Politik (UU Parpol). Selain itu, gugatan ini juga menjelaskan. Bahwa betapa besarnya kekuasaan Majelis Tinggi, seperti penyelenggaraan KLB. Terkait dengan kompetensi absolut MA, Yusril menyatakan. Pembentukan AD/ART yang diperintahkan Undang – Undang, dapat disebut sebagai kuasi Peraturan Perundang – Undangan. Sehingga pengujiannya merupakan kompetensi MA. Persoalan dirasa semakin menarik.
Hal itu sebab dalam konteks pengujian Undang – Undang, domain pengujian yang diberikan UUD 1945 kepada MA hanya sebatas peraturan perundang – undangan. Namun, argumen Yusril tentang posisi AD/ART dalam peraturan Perundang – Undangan jelas perlu diperhitungkan. Sehingga putusan MA wajib ditunggu. Dalam UUD 1945, salah satu kewenangan MA adalah pengujian peraturan Perundang – Undangan terhadap Undang – Undang. Peraturan Perundang – Undangan dipahami sebagai peraturan tertulis yang mengikat secara umum.
Selain itu, peraturan perundang-undangan juga merupakan keputusan atau peraturan tertulis yang dikeluarkan oleh Lembaga atau pejabat yang berwenang (Soeprapto, 1998). Secara normatif, UU 12/2011 menyatakan. Kewenangan pembentukan Peraturan Perundang – Undangan hanya diberikan kepada lembaga negara atau pejabat berwenang. Dapat disimpulkan, Peraturan Perundang – Undangan hanya dapat dikeluarkan oleh pejabat berwenang atau lembaga negara.
KLIK JUGA : Legislatif sekaligus Ketum HIMNI Marinus Gea Kecam Keras Pernyataan Condrat Sinaga, Proses Hukum!
Dalam konteks AD/ART partai politik, walaupun pembentukannya diperintahkan oleh UU Parpol, namun domain pembentukannya tidak dimiliki oleh pejabat atau lembaga negara berwenang. Pembentukan AD/ART diserahkan pada mekanisme internal partai. Yakni berdasarkan hasil forum tertinggi internal parpol. Karenanya secara yuridis, sulit menemukan legitimasi bagi MA dalam mengadili perkara pengujian AD/ART Partai Politik.
AD/ART sebagai produk hukum partai tentu tak lepas dari kekhilafan. Sehingga secara ideal perlu mekanisme pengujian. Namun, AD/ART tidak serta merta dipahami sebagai objek uji materiil di MA. Ada dua jalur yang mungkin dapat diambil. Pertama, langsung melalui mekanisme internal partai politik. Menurut UU Parpol, AD/ART dapat diubah melalui keputusan forum tertinggi di internal partai. Walaupun begitu, hampir tidak satu partai pun yang mengatur pengujian AD/ART. UU Parpol juga tidak memberikan panduan yang jelas.
Maka dari itu, pengujian tersebut perlu dipahami sebagai usulan perubahan AD/ART. Dalam konteks Partai Demokrat, perubahan AD/ART hanya dapat dilakukan melalui Kongres atau Kongres Luar Biasa. Perubahan pun hanya dapat diajukan oleh Majelis Tinggi Partai atau 2/3 jumlah DPD dan 1/2 jumlah DPC. Dengan mekanisme tersebut, kewenangan pengusulan dimiliki secara kuat oleh majelis tinggi. Usulan organik dari kader cukup sulit diperjuangkan. Gagasan perubahan dari akar rumput wajib didukung dengan gagasan yang telah tersebar di hampir seluruh DPD dan DPC.
KLIK JUGA : Beesokhi Ndruru Punya Kejutan, Ayo Tonton dan Ikutan Kuis Berhadiah dalam K’Bee Menyapa!
Memang agak mustahil membayangkan usulan perubahan AD/ART dari kader di internal partai. Belum lagi, dengan status mantan kader, penggugat akan lebih sulit mengupayakan usulan perubahan tersebut. Kedua, melalui mekanisme gugatan di PTUN. UU Parpol menentukan. Bahwa setiap perubahan AD/ART harus dilaporkan pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kementerian nantinya akan memeriksa dan mengesahkan perubahan AD/ART melalui Keputusan Menteri. Esensinya, kesesuaian materi muatan AD/ART terhadap Undang – Undang dan tata kelola partai yang demokratis dapat dilihat.
Dapat ditangkap bahwa AD/ART yang berlaku adalah AD/ART yang sudah disahkan melalui Keputusan Menteri. Bila ketentuannya bertentangan dengan Undang – Undang, maka Keputusan Menteri tersebut bertentangan dengan Undang – Undang. Keputusan Menteri yang bersifat beschikking. Sehingga dapat diajukan gugatan kepada PTUN. PTUN memiliki kompetensi absolut untuk menangani sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Dalam penanganan gugatan, PTUN melihat sengketa KTUN berdasarkan Peraturan Perundang – Undangan dan Asas – Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Dalam pengajuan gugatan, penggugat harus menjelaskan kerugian yang dialami akibat suatu KTUN. Yang mana dalam konteks ini adalah Keputusan Menteri. Penggugat juga dapat memintakan pembatalan dan ganti rugi atau rehabilitasi. Namun, proses beracaranya cukup panjang. Pasalnya, sebelum mengajukan gugatan, penggugat harus sudah mengajukan permohonan untuk menarik Keputusan TUN tersebut kepada lembaga atau pejabat yang mengeluarkannya. Di sisi lain, jangka waktu gugatan hanya terbatas 90 hari setelah dikeluarkannya Keputusan tersebut.
KLIK JUGA : Fadjroel Rachman Jadi Dubes, Pramono Anung atau Fahri Hamzah atau Febri Diansyah Pengganti Jubir?
Dari kedua mekanisme yang tersedia, pengujian atau pengajuan usulan perubahan AD/ART cukup sulit dilakukan. Di samping itu, proses yang harus ditempuh juga memakan waktu yang lama. Sayangnya, secara yuridis tidak terdapat mekanisme lain yang memungkinkan Mantan Kader Demokrat tersebut untuk mengajukan uji materiil AD/ART. Padahal, AD/ART partai menjadi penopang signifikan dalam setiap kegiatan partai. Partai politik memainkan peran signifikan dalam demokrasi.
Parpol dipahami sebagai pengakumulasi dan penerjemah kepentingan rakyat dalam peraturan dan kebijakan yang mengikat. Pemahaman ini bahkan diinstitusionalisasi melalui UUD 1945 yang memberikan banyak privilese bagi partai seperti mencalonkan presiden, mendapatkan kursi di parlemen dan jabatan politik yang krusial lainnya. Namun sebagai penopang demokrasi, partai malah menerbitkan masalah – masalah yang tidak demokratis. Angka korupsi politik tinggi hingga pembungkaman kebebasan berpendapat justru terjadi ketika partai politik memiliki peran siginifikan pasca reformasi.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia turun dari 40 (2019) menjadi 37 (2020). Peringkat CPI juga turun dari 85 (2019), menjadi 102 (2020) (TI, 2021). Indeks kebebasan juga menurun dari 61/100 (2019), menjadi 59/100 (2020) (Freedom House, 2021). Tergolong sangat rendah untuk negara demokrasi seperti Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, sudah tentu partai politik harus dikontrol bila ingin menghasilkan solusi mulai dari hulu. Sebab, rekrutmen jabatan politik yang krusial, diawali dari partai politik. Karenanya, Putusan MA terhadap Pengujian AD/ART Demokrat ini layak untuk ditunggu.
Ada dua hal yang perlu dilihat. Pertama, bagaimana sikap MA yang tercermin dari putusannya. Kedua, bagaimana implikasi putusan tersebut. Ketok palu MA menarik ditunggu, utamanya terkait kompetensi absolut MA dalam menangani perkara tersebut. Selanjutnya, menarik pula ditunggu putusan juga akan memberikan publik memiliki mekanisme yang tepat atau tidaknya. Terlebih untuk mengontrol partai politik, mulai dari AD/ART-nya. Walau secara normatif cukup sulit, besar harapan MA memberikan penjelasan dan penguatan mekanisme pengawasan publik terhadap partai, terlepas dari bunyi amar putusannya.
Discussion about this post