JAKARTA, mataberita.co.id__ Sejarah! Harga komoditas Indonesia meledak bak ketiban durian runtuh. Hal ini tentu menjadi berkah buat Indonesia. Dari minyak kelapa sawit, batu bara sampai nikel mendongkrak penerimaan negara di saat tak terduga. Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan (Menkeu) pun menyampaikan. Bahwa efek lonjakan harga komoditas berpengaruh terhadap Bea Keluar (BK). Yang mana realisasinya mencapai Rp 22,56 triliun atau terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
“BK melonjak 910,6%. Karena komoditas CPO dan logam dasar, batu bara nikel dan lain – lain,” ungkap Sri Mulyani pada Senin (25/10/2021). Pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Yang mana dalam sembilan bulan ini saja, PNBP sudah terealisasi 107,6% atau melewati target APBN menjadi Rp 320,8 triliun. “Ini didominasi dari SDA (Sumber Daya Alam) migas maupun non migas,” jelasnya.
SDA Migas mencapai pertumbuhan 16,4% menjadi 82,7% dari target Rp 75 triliun. Dipengaruhi oleh kenaikan ICP dalam 10 bulan terakhir sebesar US$ 62,55 per barel atau diatas rata – rata asumsi APBN. PNBP non migas tumbuh 78,3% menjadi 119,8% dari target Rp 29,1 triliun. Ditopang oleh kenaikan harga batu bara, emas, perak, tembaga, timah dan nikel. HBA dalam periode tersebut mencapai US$ 102,3/ton.
KLIK JUGA : Menunggu Ketok Palu MA, Uji Materi AD/ART Demokrat Jadi Pembuktian Kompetensi
Di samping itu, ada dorongan juga dari peningkatan produksi kayu, penggunaan areal kawasan hutan, pembayaran piutang PNBP penggunaan kawasan hutan dan kenaikan pendapatan perusahaan panas bumi. Pemerintah juga mendapatkan penerimaan dari pendapatan kekayaan negara dipisahkan. Dipengaruhi oleh turunnya kinerja keuangan BUMN perbankan pada tahun buku 2020. Karena imbas pandemi Covid-19 dan tidak adanya setoran sisa surplus BI.
Kemudian ada pendapatan PNBP lainnya yang tumbuh 32,9% menjadi 93,2% dari target Rp 109,1 triliun. Faktor pendorongnya adalah kenaikan penjualan hasil tambang batu bara, pendapatan minyak mentah dan layanan PNBP KL. Ada juga dari BLU yang tumbuh 94% menjadi 157,7% dari target Rp 58,7 triliun. Terbesar dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan dari pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit, layanan pendidikan dan jasa penyelenggaraan telekomunikasi.
Pajak juga mendapatkan imbas dari sektor pertambangan pada Januari – September 2021 melonjak 38,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jauh membaik ketimbang sembilan pertama 2020 yang ambles 42,7% yoy. Sementara pada kuartal III-2021, penerimaan pajak dari sektor pertambangan melesat 317,6% yoy. Jauh membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) 18% yoy.
KLIK JUGA : Beesokhi Ndruru Punya Kejutan, Ayo Tonton dan Ikutan Kuis Berhadiah dalam K’Bee Menyapa!
“Boom harga komoditas mulai terlihat pada kuartal III. Sepertinya akan bertahan sampai awal tahun depan,” pungkas Menkeu. Dalam Undang – Undang Kepabeanan, terdapat enam barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar. yakni antara lain kulit, kayu, biji kakao, kelapa sawit (CPO dan turunannya), produk hasil pengolahan mineral logam dan produk mineral logam dengan kriteria tertentu. Lalu Adapun kinerja barang ekspor yang dikenai BK sesuai Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 64/PMK. 010/2018.
Mengacu data BPS, dari keenam barang yang dikenakan BK tersebut, sawit mendominasi. Tak lain dengan nilai ekspor tertinggi dengan nilai US$ 17.640,69 juta pada 2021 (Januari-Juli), naik 58,50% year-on-year (yoy) dibanding tahun 2020. Sementara itu, volume ekspor mencapai 21.597,50 ton, naik 3,61% yoy. Naiknya harga CPO sepanjang 2021 mendorong nilai ekspor sawit. Hal ini tercermin dari ketimpangan pertumbuhan volume dan nilai ekspor. Harga CPO dari awal tahun sudah menguat 32,76% sampai hari ini. Tembaga jadi komoditas nomor dua dengan nilai ekspor US$ 2.509,58 juta, naik 303.29% yoy. Kenaikan nilai ekspor tembaga ini didorong oleh harga tembaga yang menguat pada tahun 2021 dan juga volume ekspor yang meningkat 180,82% yoy.
Urutan ketiga ada komoditas aluminium dengan nilai ekspor US$ 275.43 juta dan volume ekspor 8.667,19 ribu ton. Kenaikan harga komoditas dunia jadi bonus penerimaan negara di tengah pengeluaran yang terkuras untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan saat pandemi Covid-19 berlangsung. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini diperkirakan lebih rendah, yaitu 5,59% dari yang sebelumnya diasumsikan 5,7%. Hal ini tidak lepas dari berlanjutnya pemulihan ekonomi dan lonjakan harga komoditas dunia yang mendongkrak penerimaan negara.
KLIK JUGA : Menkumham Yasonna Laoly Serahkan HKI, Korpolairud Baharkam Polri Contoh Nyata Pentingnya HKI
“Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu. Hingga September 2021, defisit anggaran mencapai Rp 452 triliun atau 2,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara keseimbangan primer Rp 198,3 triliun. Yang mana belanja negara pada September 2021 alami penurunan sebesar 1,9% (year on year/yoy) menjadi Rp 1.806,8 triliun atau 65,7% dari pagu APBN.
Hal tersebut meliputi belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp 1.265,3 triliun dengan KL sebesar Rp 734 triliun dan non KL Rp 531 triliun. Selanjutnya ada TKDD dengan Rp 541,5 triliun atau turun 14% Total penerimaan negara adalah Rp 1.354,8 triliun atau tumbuh 16,8%. Penerimaan alami peningkatan dengan realisasi pajak tumbuh 13,2% menjadi Rp 850,1 triliun (69,1%), bea cukai tumbuh 29% menjadi Rp 182,9 triliun (85,1%) dan PNBP tumbuh 22,5% menjadi Rp 320,8 triliun (107,6%).
“Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek,” ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro. Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.
KLIK JUGA : Banyak Siswi SD Negeri di Kepni Diduga Jadi Korban Pelecehan Seksual Guru, Awalnya Dipaksa Nonton Film Porno
Hanya saja, pemerintah tidak boleh lengah. Sebab kemungkinan perubahan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju lewat normalisasi stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya. “Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi,” ujarnya.
Discussion about this post