JAKARTA, mataberita.co.id__ Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memberikan jawaban mencengangkan. Tak lain mengenai adanya indikasi korupsi dari kebocoran di wilayah pelabuhan. Hal ini menanggapi usai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan dugaan adanya mafia pelabuhan yang harus ditindak tegas. Luhut pun menyebut Pahala Nainggolan KPK untuk bergerak.
Pahala Nainggolan merupakan Pejabat Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK. Luhut memintanya pada Kamis (11/11/2021). Yakni agar pelabuhan di Indonesia lebih hebat lagi. “(Sebanyak) 80 persen merupakan cargo transhipment dari negara lain. Sebaliknya, pelabuhan kurang produktif dan efisien dapat jadi kelemahan suatu negara. Sebagai ilustrasi dampak secara makro, pebisnis dan investor tentunya mempertimbangkan biaya logistik dalam menjalankan bisnis dan investasi,” katanya.
“Dengan biaya logistik tinggi, berkuranglah minat pebisnis berinvestasi dan berkuranglah lapangan kerja dan daya beli masyarakat makin rendah,” sambung Luhut. Di sisi lain, Firli menyebut ada 4 sektor di pelabuhan yang berpotensi bocor. Sehingga menyebabkan keran korupsi lancar mengalir. “Yang pertama adalah ditemukannya otoritas pelabuhan yang tidak menggunakan sistem aplikasi,” ucapnya.
Sistem yang dimaksud adalah Inaportnet. Yang mana fungsinya mengintegrasikan sistem informasi kepelabuhanan yang standar dalam melayani kapal dan barang secara fisik dari seluruh instansi dan pemangku kepentingan. Aturan mengenai Inaportnet tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 157 Tahun 2015. Yakni tentang Penerapan Inaportnet untuk Pelayanan Kapal dan Barang di Pelabuhan.
KLIK JUGA : Menko Marves Luhut Dilaporkan, Senggol Mafia Pelabuhan
“Inaportnet dalam pemberian pelayanan, monitoring dan evaluasi. Serta belum terintegrasinya dengan layanan badan usaha pelabuhan. Hal ini tentu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara,” kata Firli. Kebocoran potensi korupsi yang kedua disebutnya mengenai layanan jasa pelabuhan yang tidak direkam dalam sistem. Praktek seperti ini rawan memunculkan niat – niat pihak tidak bertanggung jawab untuk ‘bermain mata’.
“Dengan kata lain, masih dilakukan secara manual. Dan tentu juga tidak sesuai dengan apa yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa. Dan inilah kerawanan terjadinya praktek – praktek korupsi. Yang ketiga masih ditemukannya ketidaksesuaian, kebutuhan, kualifikasi kelembagaan dan proses implementasi kerja pada proses bongkar muat di pelabuhan. Hal ini tidak hanya merugikan pengguna jasa. Tetapi juga merugikan tenaga kerja bongkar muat itu sendiri sebagai akibat dari panjangnya birokrasi dalam pemberian layanan bongkar muat,” ujar Firli.
Untuk yang keempat atau yang terakhir disebut Firli soal Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Dia pun meminta agar persoalan ini harus segera diatasi. “Yang keempat kita juga masih bisa menemukan layanan jasa pelabuhan yang belum terintegrasi satu sama lain. Seperti layanan karantina dan belum tersedianya berbagai akibat dari keterbatasan sumber daya manusia,” pungkasnya.
Discussion about this post