JAKARTA, mataberita.co.id__ Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Vonis Edhy diperberat dari 5 tahun penjara menjadi 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp 400 juta. Jika tidak bayar denda, maka diganti pidana kurungan enam bulan. Tak hanya itu, dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan olehnya.
Apabila tidak membayar uang pengganti itu dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta benda Edhy disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Jika dia tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama tiga tahun. Dia pun dikenakan pidana tambahan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai menjalani pidana pokok. Dalam pertimbangan, Majelis Hakim sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama.
Akan tetapi, majelis menilai hukuman Edhy terlalu ringan. Sehingga hukuman eks kader Partai Gerindra itu diperberat. Majelis Hakim yang terdiri atas Hakim Haryono dan dua Hakim Tinggi lain mengacu pada posisi tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Ini konsekuensi Indonesia meratifikasi konvensi anti korupsi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Artinya korupsi yang hanya diperangi dan menjadi musuh bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi musuh seluruh umat manusia. Tindakan Edhy dinilai meruntuhkan send i- sendi kedaulatan bangsa.
KLIK JUGA : Bripka PS Nyaris Diamuk Massa Pasca Lakukan Pemerasan
“Bahwa penjatuhan pidana pokok kepada Terdakwa tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa. Terlebih lagi Terdakwa adalah seorang Menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur,” demikian pertimbangan Majelis Hakim. Sebagai catatan, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subisider 6 bulan kurungan pada 15 Juli 2021.
Edhy juga dikenakan pidana tambahan berupa penggantian uang sebesar Rp 9,68 miliar dan 77 ribu dolar AS. Hakim berkeyakinan, dia terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar untuk mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster atau benur kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya. Vonis Majelis Hakim sama dengan tuntutan jaksa KPK yaitu 5 tahun penjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengapresiasi putusan Majelis Hakim Tinggi yang memperberat hukuman Edhy. Tetapi dia menilai. Hukumannya semestinya lebih diperberat lagi. “Mestinya pada tingkat banding, hukuman Edhy diubah menjadi 20 tahun penjara. Dendanya dinaikkan menjadi Rp1 miliar, dan hak politiknya dicabut selama 5 tahun,” kata Kurnia pada Jumat (12/11/2021). Dia sebut. Ada sejumlah alasan hukuman Edhy layak lebih berat daripada putusan banding tersebut.
KLIK JUGA : Menhan Prabowo Subianto Diberi Gelar Warga Kehormatan oleh Brimob Polri
Pertama, Edhy melakukan kejahatan korupsi saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Kedua, praktik korupsi suap ekspor benih lobster terjadi saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Ketiga, hingga proses banding, Edhy tidak kunjung mengakui perbuatannya. Hal senada diungkapkan peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko. Dia mengapresiasi putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Dia bilang. Hukuman yang diberikan sudah mengacu pada Perma 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Namun ia menilai hukuman Edhy bisa lebih berat.
“Catatannya adalah harusnya masih bisa dituntut secara maksimal atau divonis secara maksimal,” kata Wawan pada Jumat (12/11/2021). Dia mengingatkan. Kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sehingga bisa dihukum dengan vonis maksimal, misalnya 20 tahun penjara atau paling tidak 12 tahun penjara. Dia mengingatkan. Edhy adalah pejabat negara. Dia mencontohkan vonis eks Mensos Juliari Batubara. Politikus PDIP itu memang dijatuhi hukuman di atas tuntutan jaksa KPK. Tapi masih jauh dari keadilan yang diharapkan masyarakat. Mengingat Juliari menggarong dana bansos Covid-19.
“Kan seharusnya belajar juga dari putusannya Juliari. Meskipun ultra petita, tapi kan masyarakat tidak puas. Karena bansos loh di saat pandemi. Artinya kalau dilihat dari ultra petitanya, ya kita apresiasi. Tetapi sebenarnya hakim juga mempunyai pertimbangan ketika memberikan hukuman yang lebih atas lagi, dibanding yang hari ini,” kata Wawan. Dia pun menilai. Putusan MA juga membawa implikasi kepada kinerja KPK. Dia mengingatkan. Tuntutan KPK jauh lebih rendah dari vonis Pengadilan Tinggi Jakarta. Hal ini bukan kali pertama karena kasus Juliari juga terjadi hal yang serupa.
KLIK JUGA : Imigrasi Tolak 541 WNA Masuk Indonesia!
“Sepertinya ini tuntutan yang terjadi di Edhy Prabowo dan Juliari ini bukan kebetulan semata. Ya dong. Karena sudah dua dan kasusnya menjerat Menteri, masa cuma 5 tahun?” kata Wawan mempertanyakan. Dia khawatir. Ada masalah internal di Deputi Penindakan KPK. Dia menilai. Rendahnya tuntutan menyoalkan komitmen KPK dalam memberantas korupsi dan memberikan hukuman berat bagi koruptor. Dia juga khawatir. Ada ketidakyakinan KPK dalam memproses hukum perkara, baik secara penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
Wawan berharap. KPK bisa lebih serius dan yakin dalam menuntut koruptor dalam proses hukum secara maksimal. Dia khawatir. Ada pengaruh pimpinan yang diduga bermasalah terkait rendahnya tuntutan JPU KPK ini. Padahal, kata dia, hal ini tidak pernah terjadi di era kepemimpinan KPK sebelumnya saat ada menteri yang tersandung kasus korupsi. “Artinya dalam saat gelar perkara, deteksi masuk ke penyelidikan, masuk penyidikan ada ketidakpercayaan diri, gak confident ini pimpinan untuk menetapkan bahwa ini harusnya dihukum segini,” katanya.
“Dari 2003 sudah biasa begitu dan bisa maksimal. Kenapa di 2020 ini, 2 kasus menteri malah tidak maksimal. Kan jadi pertanyaan kenapa jadi nggak confident?” kata Wawan mempertanyakan. Kurnia juga mengkritik soal kinerja penuntutan KPK di era Firli ini. Baginya, putusan hakim membuktikan rendahnya tuntutan KPK kepada Edhy. “Bagaimana tidak, pasal yang digunakan oleh KPK sebenarnya memungkinkan untuk menjerat Edhy hingga hukuman maksimal. Namun pada faktanya hanya 5 tahun penjara,” katanya.
“Putusan banding terhadap Edhy Prabowo ini kembali memperlihatkan kebobrokan KPK dalam memproses hukum pelaku korupsi,” lanjut Kurnia. Menurutnya, seharusnya mengacu pada Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Pasal tersebut memungkinkan untuk menjerat Edhy dengan penjara selama 20 tahun atau bahkan seumur hidup. Akan tetapi, KPK hanya menuntut 5 tahun. Hal tersebut tidak terlepas dari bobroknya kinerja pimpinan KPK yang tidak bisa menentukan besaran tuntutan secara optimal. “Maka dari itu, mestinya pimpinan KPK selaku unsur utama yang menentukan jumlah tuntutan di KPK harus malu atas putusan tersebut,” katanya.
“Alih – alih berpihak pada korban dengan menuntut berat, Firli Bahuri justru terlihat seperti pihak yang membantu Edhy agar hukumannya diringankan,” tambah Kurnia. Dia pun berharap Komisi Yudisial untuk turun tangan jika kubu Edhy mengajukan kasasi. “Ke depan, jika Edhy Prabowo mengajukan kasasi, penting bagi Komisi Yudisial mengawasi proses persidangan tersebut. Jangan sampai putusan kasasi nanti meringankan kembali hukuman Edhy Prabowo dengan alasan yang mengada – ngada,” tegasnya. Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan. Komisi antirasuah mengapresiasi putusan banding Majelis Hakim.
KPK mengklaim. Pandangan Majelis Hakim sama dengan Jaksa Penuntut Umum KPK. “Kami melihat putusan banding yang memperberat hukuman terdakwa. Artinya Majelis Hakim punya keyakinan dan pandangan yang sama dengan tim jaksa KPK. Bahwa terdakwa secara meyakinkan terbukti bersalah menerima suap dalam pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benur,” kata Ali.
KPK juga mengapresiasi vonis berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 9,6 miliar dan 77 ribu dolar AS. Mereka menilai. Besaran tersebut baik untuk aset recovery hasil korupsi. Kini, KPK menunggu langkah Edhy Prabowo dalam menyikapi putusan tersebut. “Saat ini KPK tentu menunggu sikap dari terdakwa atas putusan tersebut. Dalam prosesnya KPK telah menyiapkan memori kontra bandingnya,” kata Ali. Tim kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo belum berkomentar tentang vonis banding tersebut.
Discussion about this post