JAKARTA, mataberita.co.id__ Awalnya, pernyataan soal upah minimum ketinggian diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Di sisi lain, banyak yang mengatakan. Bahwa upah minimum saat ini justru masih terlalu rendah. Diketahui bahwa upah minimum buruh Jakarta yang dimaksud adalah simulasi terakhir dari Kemenaker dan BPS. Yang mana adalah upah minimum di tahun 2022. Dalam simulasi itu, upah minimum naik 1,09 persen secara nasional. Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum tertinggi.
Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari menjelaskan. Pernyataan Menaker yang menyebutkan upah minimum terlalu tinggi komparasi atau pembandingannya adalah nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia. “Jadi begini. Ketika Ibu (Menaker) mengatakan upah minimum yang ada ketinggian, itu bukan menganggap. Bahwa pekerja itu sah pekerja mendapatkan upah lebih rendah. Ketinggian itu, komparasinya kalau dilihat dari nilai produktivitas, produktivitas kan kemampuan kita bekerja efektif dan efisien,” katanya pada Sabtu (20/11/2021).
Dari sisi jam kerja, menurut Dita, Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, jumlah hari libur di Indonesia masih tergolong banyak. “Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak,” ujarnya. Untuk hari libur, di Indonesia dalam setahun, ada 20 hari libur. Belum ditambah beragam cuti lainnya. Yaitu cuti bersama, cuti tahunan, cuti kelahiran anak, cuti khitanan, cuti menikah hingga cuti keluarga meninggal. Sementara di Thailand, dalam setahun hanya ada kurang lebih 15 hari libur saja.
KLIK JUGA : Bergaya Hidup Mewah, Mantan Kapolres Nias Dicopot dari Jabatannya
Selain itu, disebutkan juga oleh Dita, nilai produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Sebetulnya masih cenderung rendah dibandingkan dengan upahnya. Nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia masuk ke dalam urutan ke 13 di Asia. “Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya. Ini umum secara nasional. Komparasinya ketinggian itu dengan itu. Bukan berarti semua orang layak dikasih gaji kecil,” ungkapnya.
Dengan semakin sedikitnya jam kerja, menurut Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Membuat nilai produktivitas pun jadi rendah. “Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian nggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja. Artinya kalau upah nggak cocok dengan outputnya kesimpulannya upah kita terlalu tinggi,” pungkasnya.
Discussion about this post