MataBerita – Pembangunan proyek kereta cepat yang dulu dipuji sebagai simbol kemajuan kini kembali jadi sorotan publik. Bukan soal kecepatannya, tapi soal utangnya yang menggunung. Pemerintah, lewat pernyataan tegas Menteri Keuangan, memastikan satu hal: negara tidak akan menanggung utang proyek kereta cepat ini.
Di tengah pro dan kontra yang terus berkembang, masyarakat pun mulai bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang harus membayar utang besar ini? Apakah proyek ambisius ini akan membebani rakyat, atau justru ditanggung oleh pihak swasta dan BUMN yang mengelolanya?
Pernyataan ini menjadi penting karena nilainya bukan kecil — mencapai puluhan triliun rupiah. Pemerintah ingin memberi sinyal jelas bahwa tanggung jawab itu bukan berada di pundak APBN, melainkan di pihak pengelola proyek.
Purbaya Yudhi Sadewa Tegaskan Penolakan Penggunaan APBN
Purbaya Yudhi Sadewa yang kini menjabat sebagai Menteri Keuangan menegaskan bahwa negara tidak akan menggunakan APBN untuk membayar utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh.
Menurutnya, utang proyek tersebut berada di bawah pengelolaan Danantara, bukan pemerintah. Sejak Maret 2025, negara bahkan sudah tidak lagi menerima setoran dividen dari BUMN, karena dana tersebut telah dialihkan ke Danantara sebagai pengelola.
“Yang jelas saya sekarang belum dihubungi. Kalau di bawah Danantara, mereka kan sudah punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri yang rata-rata bisa Rp 80 triliun lebih. Harusnya mereka yang tanggung, jangan di kita lagi,” ujar Purbaya dalam Media Gathering Kemenkeu di Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/10).
Dengan pernyataan ini, pemerintah menegaskan sikapnya: utang proyek kereta cepat tidak boleh membebani APBN, melainkan harus ditangani oleh entitas yang mengelolanya secara langsung.
Utang Proyek Kereta Cepat Tidak Dipegang Pemerintah
Pernyataan tegas ini juga didukung oleh Suminto, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ia menyebut bahwa utang proyek tersebut bukan di bawah pemerintah, melainkan dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan konsorsium BUMN.
Hal ini berarti pemerintah tidak punya kewajiban langsung untuk membayar utang yang muncul akibat pembengkakan biaya proyek tersebut.
Beban Utang yang Harus Ditanggung PT KAI
PT KAI sebagai pemimpin konsorsium proyek kini menanggung utang senilai Rp 6,9 triliun dari China Development Bank (CDB). Pinjaman ini digunakan untuk menutup pembengkakan biaya pembangunan proyek kereta cepat.
Sementara itu, total biaya proyek mencapai USD 7,27 miliar atau sekitar Rp 120 triliun (dengan kurs Rp 16.570 per dolar AS). Dari jumlah tersebut, sekitar USD 1,2 miliar atau Rp 19,8 triliun merupakan cost overrun — pembengkakan biaya yang terjadi selama proses pembangunan.
Danantara Siapkan Skema Restrukturisasi Utang
Kondisi keuangan yang berat membuat Danantara harus bergerak cepat. Dony Oskaria, COO Danantara, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah menyiapkan sejumlah opsi restrukturisasi utang kereta cepat.
Skema restrukturisasi ini menjadi bagian dari 22 program kerja strategis dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2025. Salah satu skema utama adalah penambahan ekuitas, mengingat modal awal yang disetorkan sebelumnya terlalu kecil.
“Sehingga hanya equity-nya waktu itu kekecilan kita menempatkannya. Apakah kemudian kita tambahkan equity yang pertama,” jelas Dony.
Opsi Penyerahan Infrastruktur ke Pemerintah
Selain penambahan ekuitas, ada opsi lain yang juga sedang dipertimbangkan: penyerahan sebagian infrastruktur KCJB kepada pemerintah. Jika opsi ini dipilih, maka aset tersebut dapat dikelola sebagai Badan Layanan Umum (BLU).
“Atau kemudian memang ini kita serahkan infrastrukturnya sebagaimana industri kereta api yang lain, infrastrukturnya itu milik pemerintah,” lanjut Dony.
Namun, perlu dicatat bahwa penyerahan aset ini bukan berarti pemerintah akan ikut membayar utang. Pemerintah hanya akan mengelola infrastruktur, sementara utang dan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab pengelola awal.
Kenapa Pemerintah Tegas Menolak?
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah ingin menjaga kesehatan fiskal negara dan memastikan proyek infrastruktur besar tidak membebani APBN secara berlebihan.
Jika negara terus menanggung utang dari proyek BUMN, maka risiko fiskal akan meningkat dan berdampak pada alokasi anggaran sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan subsidi masyarakat.
Dengan pengalihan tanggung jawab ke Danantara dan BUMN terkait, pemerintah juga ingin mendorong efisiensi manajemen proyek dan memperkuat akuntabilitas pengelolaan dana publik.
Dampak Penolakan terhadap Masa Depan Proyek Whoosh
Keputusan pemerintah untuk tidak membayar utang ini akan sangat berpengaruh pada masa depan Whoosh, kereta cepat pertama di Indonesia. Jika pengelola mampu melakukan restrukturisasi dengan baik, proyek ini tetap bisa berjalan dengan stabil dan memberi manfaat jangka panjang bagi perekonomian.
Namun jika pengelolaan gagal, ada kemungkinan proyek akan menghadapi tekanan keuangan yang lebih besar. Oleh karena itu, restrukturisasi yang tepat dan strategi bisnis jangka panjang sangat dibutuhkan agar proyek ini tidak menjadi beban negara maupun BUMN.
Penutup: Proyek Besar Butuh Tanggung Jawab Besar
Kasus utang proyek kereta cepat ini menjadi contoh nyata bahwa proyek infrastruktur raksasa tidak hanya soal membangun fisik, tapi juga soal tanggung jawab finansial.
Pemerintah, melalui Purbaya, sudah mengambil sikap tegas untuk tidak menanggung beban yang bukan menjadi tanggung jawab APBN. Kini, bola panas ada di tangan Danantara, PT KAI, dan konsorsium BUMN untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengelola proyek besar ini dengan profesional.
Masyarakat tentu berharap proyek Whoosh tidak hanya jadi kebanggaan nasional, tapi juga memberi manfaat nyata — tanpa membebani keuangan negara.