MataBerita – Isu soal dana mengendap di kas pemerintah daerah tengah jadi sorotan publik. Angka fantastis Rp4,1 triliun yang disebut-sebut tersimpan di bank milik Pemda Jawa Barat bikin banyak pihak mengernyitkan dahi. Pasalnya, jumlah tersebut bukan angka kecil — dan langsung memicu perdebatan panas di ruang publik.
Di satu sisi, Menteri Keuangan menegaskan data tersebut valid dan bersumber dari laporan resmi. Tapi di sisi lain, Gubernur Jawa Barat KDM (Dedi Mulyadi) membantah keras dan menyebut tak ada dana mengendap sebesar itu di wilayahnya. Saling bantah pun tak terelakkan.
Lalu, sebenarnya bagaimana duduk persoalan dana “ngendap” ini? Siapa yang benar? Mari kita bedah satu per satu kronologinya.
Latar Belakang: Angka Rp4,1 Triliun yang Jadi Sumber Polemik
Polemik ini bermula saat Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan. Data itu, katanya, berasal dari pantauan Bank Indonesia per September 2025. Dalam keterangan resminya, ia menyebut total dana yang “tidur” di bank milik pemda mengalami kenaikan signifikan.
“Tanya aja ke bank sentral, itu kan data dari sana. Kemungkinan besar anak buahnya juga ngibulin dia. Itu kan dari laporan perbankan, data Pemda,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Selasa (21/10).
Meski demikian, Purbaya menegaskan tak pernah menyebut detail spesifik soal dana milik Pemda Jawa Barat. Ia hanya menyampaikan tren umum dari total dana pemda di seluruh Indonesia.
“Saya nggak pernah deskripsikan data Jabar. Saya cuma bilang, data di perbankan sekian punya pemda. Dan data itu dari sistem keuangan bank sentral,” lanjutnya.
Purbaya Tegas: “Silakan Cek Sendiri”
Menariknya, Purbaya mengaku tidak punya niat untuk langsung berkoordinasi dengan KDM soal data tersebut. Alasannya, masing-masing pemerintah daerah punya akses dan kewajiban untuk memeriksa datanya sendiri.
“Saya bukan pegawai Pemda Jabar. Kalau dia mau periksa, periksa aja sendiri. Itu data dari sistem monitoring BI yang dilaporkan oleh perbankan setiap hari atau setiap minggu. Ya datanya seperti itu,” tegasnya lagi.
Pernyataan ini memperjelas posisi Kemenkeu: mereka hanya menyampaikan data agregat dari sistem resmi, bukan tudingan langsung kepada satu daerah tertentu.
Respons KDM: “Rp4,1 Triliun Itu Nggak Ada!”
Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM, langsung membantah pernyataan tersebut lewat unggahan video di akun Instagram pribadinya. Dalam video itu, ia dengan nada santai tapi tegas menolak adanya dana sebesar Rp4,1 triliun yang mengendap di kas daerahnya.
“Kalau ada yang bilang uang Rp4,1 triliun tersimpan dalam bentuk deposito, kasih datanya ke saya. Saya udah bolak-balik ke BJB nanyain, marahin staf, tapi nggak ada tuh,” ujarnya.
KDM bahkan berseloroh, ia sudah “mengangkat karpet dan membalik kursi” di kantornya untuk mencari uang tersebut — namun hasilnya nihil.
Siap Diperiksa BPK
Sebagai bentuk keseriusannya, KDM menyatakan siap diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan jika memang ada dana sebesar itu yang “disembunyikan”.
“Saya nyari tadi karpet diangkatin, kursi dibalikin, laci ruangan saya dibukain, ternyata Rp4,1 triliun nggak ada. Mudah-mudahan tahun depan dana transfernya malah ditambah buat Jawa Barat,” ujarnya sambil berseloroh.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa KDM tidak merasa ada yang perlu disembunyikan. Ia justru seolah menantang pihak pusat untuk menunjukkan bukti konkritnya.
Dana Rp2,3 Triliun yang Diakui
Meski membantah adanya Rp4,1 triliun, KDM tak menutup mata soal keberadaan dana kas daerah senilai Rp2,3 triliun di perbankan. Namun, ia menegaskan dana tersebut bukan “diendapkan” begitu saja, melainkan sedang dalam proses pencairan untuk membayar berbagai proyek pembangunan menjelang akhir tahun.
“Dana Rp2,3 triliun itu buat apa sih? Buat bayar kontrak-kontrak pekerjaan Pemda Jabar — jalan, jembatan, irigasi, PJU, bangun ruang kelas baru sekolah, perbaikan gedung kantor dan rumah sakit, banyak banget,” jelasnya.
Artinya, dana tersebut sudah memiliki peruntukan yang jelas. Jadi bukan “uang nganggur” yang disimpan begitu saja.
Mengapa Dana Pemda Sering Mengendap?
Fenomena dana mengendap di kas daerah sebenarnya bukan hal baru. Ada beberapa alasan umum mengapa hal ini bisa terjadi.
1. Proses Realisasi Anggaran yang Lambat
Birokrasi yang panjang seringkali bikin pencairan anggaran molor. Meski dananya sudah tersedia, eksekusi di lapangan sering tertunda.
2. Proyek Dikerjakan Menjelang Akhir Tahun
Banyak daerah yang baru mulai membayar kontraktor dan pihak ketiga menjelang tutup tahun anggaran. Akibatnya, dana tampak “mengendap” padahal sudah punya alokasi.
3. Perbedaan Data Antara Pusat dan Daerah
Sistem pencatatan di pusat dan daerah kadang tidak sinkron secara real time. Akibatnya, angka di laporan bisa berbeda dengan kondisi riil di lapangan.
4. Dana Transfer dan Kas yang Belum Digunakan
Sebagian dana transfer dari pusat memang baru masuk, sehingga belum digunakan saat data dilaporkan.
Siapa yang Salah?
Polemik ini sebenarnya bukan soal “siapa salah dan siapa benar” secara mutlak. Kedua belah pihak punya dasar argumen masing-masing:
-
Pemerintah pusat menyampaikan data dari sistem resmi BI.
-
KDM menyanggah karena tidak merasa punya dana mengendap sebesar itu.
Jadi, yang paling penting sebenarnya adalah sinkronisasi data agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini lagi.
Penutup: Transparansi dan Komunikasi Jadi Kunci
Kisruh dana Rp4,1 triliun ini menunjukkan pentingnya transparansi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Jika komunikasi terbuka dan data tersinkron dengan baik, polemik seperti ini bisa dihindari.
Bukan soal siapa yang paling benar — tapi bagaimana uang rakyat dikelola dengan akuntabel. Semoga ke depan, koordinasi keuangan pusat dan daerah bisa makin solid sehingga publik tidak lagi dibuat bingung oleh angka-angka fantastis.