MataBerita – Dalam sejarah hukum Indonesia, hanya segelintir nama yang mampu meninggalkan jejak sedalam Baharuddin Lopa. Sosok yang dikenal tegas, jujur, dan berani ini menjadi simbol integritas di tengah maraknya kasus korupsi yang mencoreng negeri. Meski masa jabatannya sebagai Jaksa Agung sangat singkat, warisannya tentang kejujuran dan ketegasan tetap hidup hingga kini.
Kisah hidupnya seperti potret nyata perjuangan seorang penegak hukum sejati. Ia bukan hanya menindak tegas pelaku korupsi, tapi juga hidup dengan prinsip yang selaras dengan ucapannya. Tak heran, banyak yang menyebut Lopa sebagai “musuh alami para koruptor” sekaligus “cermin penegak hukum yang ideal”.
Namun di balik ketegasannya, ada kisah manusiawi yang menyentuh: kesederhanaan yang ia jaga hingga akhir hayat. Dari rumahnya yang sederhana, kebiasaan naik angkot, hingga hadiah ulang tahun cucu yang tak seberapa nilainya—semuanya menunjukkan sosok jaksa yang benar-benar hidup dari nurani, bukan dari kekuasaan.
Baharuddin Lopa, Musuh Para Koruptor
Nama Baharuddin Lopa mulai dikenal luas ketika ia menjabat sebagai Jaksa Agung ke-17 Republik Indonesia. Kariernya dimulai pada tahun 1958 di Kejaksaan Negeri Makassar. Sejak awal, Lopa dikenal keras terhadap kejahatan, terutama korupsi dan penyelundupan, dua penyakit kronis yang kerap merugikan negara dalam jumlah besar.
Dari awal kariernya, Lopa menunjukkan bahwa penegakan hukum bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan hidup. Ia rela ditempatkan di berbagai daerah, dari Sulawesi Selatan hingga Aceh, demi menjalankan tugasnya. Bahkan, menurut laporan Kompas (17 April 1983), pemindahan Lopa ke Aceh sempat dikaitkan dengan upayanya menindak seorang pejabat tinggi yang terlibat pelanggaran hukum.
Meski mendapat tekanan, ia tak gentar. Selama bertugas di Aceh selama 3,5 tahun, ia berhasil membongkar berbagai kasus penyelundupan kayu dan beras yang merugikan negara miliaran rupiah. Baginya, selama masih bisa membantu rakyat dan menegakkan keadilan, tak ada alasan untuk berhenti.
Tak heran jika banyak pihak, terutama koruptor, merasa resah. Ia sering mendapat ancaman pembunuhan, namun tetap tak gentar. Dalam wawancara dengan Kompas, Lopa berkata lantang:
“Bila saya akan bertindak sesuatu, selalu saya berpegang bahwa nasib saya di tangan Tuhan. Yang penting kebenaran harus ditegakkan. Bahwa ada risiko yang mungkin menimpa saya, termasuk pembunuhan, itu sudah saya serahkan kepada Tuhan.”
Kata-kata itu menjadi bukti bahwa Lopa tidak sekadar menegakkan hukum, tapi juga menegakkan prinsip dan keberanian moral di atas segalanya.
Dari Jaksa Lapangan ke Kursi Tertinggi Kejaksaan
Karier gemilangnya membawa Lopa menempati posisi tertinggi di institusi kejaksaan. Pada Juni 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya sebagai Jaksa Agung RI. Penunjukan ini terjadi di tengah gelombang reformasi dan tuntutan besar untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar sejak era Orde Baru.
Sejak hari pertama menjabat, meja kerja Lopa dipenuhi berkas kasus besar yang melibatkan pejabat dan pengusaha ternama. Ia bekerja tanpa lelah, dari pagi hingga larut malam. Tidak sedikit yang merasa terancam dengan ketegasannya. Dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001), ia menulis:
“Terlalu banyak orang yang ketakutan jika saya diangkat menjadi Jaksa Agung, sehingga logis jika orang ramai-ramai memotongi saya agar tidak menjadi Jaksa Agung.”
Sayangnya, masa jabatannya sangat singkat. Hanya sebulan setelah dilantik, Lopa jatuh sakit ketika menghadiri acara serah terima Duta Besar RI di Arab Saudi, bertepatan dengan ibadah umrah. Ia sempat muntah dan pingsan, lalu meninggal dunia pada 3 Juli 2001 akibat serangan jantung yang diduga dipicu kelelahan kerja.
Kabar kepergiannya mengguncang publik. Banyak yang tidak percaya bahwa sosok sekuat Lopa berpulang begitu cepat. Namun justru di situlah legenda itu lahir—sosok yang wafat dalam pengabdian, dan dikenang sebagai simbol ketulusan dalam penegakan hukum.
Kesederhanaan yang Tak Lekang Waktu
Meski menjabat posisi tinggi, Baharuddin Lopa tak pernah hidup mewah. Rumahnya di Makassar maupun di Jakarta sederhana, tanpa perabot mahal. Mobil pribadinya hanya Toyota Kijang tua, dan ia melarang keras keluarga menggunakan mobil dinas untuk urusan pribadi.
Saat akhir pekan, ia sering naik angkot untuk bepergian. Bahkan ketika membelikan hadiah ulang tahun cucunya, ia hanya membeli mainan seharga Rp7.500. Kasir toko pun kaget, mengira tak mungkin seorang pejabat setinggi menteri membelikan hadiah semurah itu.
Kisah ini diceritakan dalam buku Mata Batin Gus Dur (2017), yang menggambarkan betapa Lopa hidup dalam prinsip sederhana tapi bermakna. Atasannya, Jaksa Agung Ali Said, bahkan pernah berkata:
“Dia memang miskin. Tapi dia sendiri tetap miskin karena memilih jujur.”
Kalimat itu mencerminkan karakter Lopa yang tidak bisa dibeli. Di tengah maraknya pejabat memperkaya diri, ia tetap teguh mempertahankan integritas, bahkan hingga akhir hayatnya.
Warisan Integritas Seorang Penegak Hukum
Kepergian Baharuddin Lopa meninggalkan duka mendalam. Presiden Abdurrahman Wahid, pejabat tinggi, hingga masyarakat biasa meneteskan air mata. Banyak yang berpendapat bahwa Lopa seharusnya menjadi Jaksa Agung jauh lebih awal, bukan hanya selama sebulan.
Kini, dua dekade lebih setelah kepergiannya, nama Baharuddin Lopa tetap menjadi inspirasi bagi generasi muda dan aparat hukum. Ia membuktikan bahwa menjadi pejabat bersih bukan hal mustahil, asalkan berani jujur dan berpegang pada kebenaran.
Dalam setiap langkahnya, Lopa mengajarkan satu hal penting: hukum tidak bisa ditegakkan tanpa keberanian moral dan kesederhanaan hidup. Di tengah banyaknya kasus korupsi yang terus terungkap, teladan Lopa terasa semakin relevan.
Penutup
Kisah hidup Baharuddin Lopa adalah pengingat bahwa integritas sejati tak lekang oleh waktu. Di tengah sistem yang kerap dicemari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sosoknya menjadi pelita yang menunjukkan jalan benar.
Semoga semangat dan kejujuran Baharuddin Lopa terus hidup dalam setiap penegak hukum di Indonesia, agar negeri ini tak kehilangan arah dalam perjuangan melawan korupsi.









