Konflik di Sudan Memanas: RSF Rebut El-Fasher, Ribuan Warga Sipil Tewas

MataBerita – Perang saudara di Sudan kembali mencapai titik tragis setelah Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Force/RSF) berhasil merebut wilayah el-Fasher pada Minggu, 26 Oktober 2025.

admin

Konflik di Sudan Memanas
Konflik di Sudan Memanas

MataBerita – Perang saudara di Sudan kembali mencapai titik tragis setelah Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Force/RSF) berhasil merebut wilayah el-Fasher pada Minggu, 26 Oktober 2025. Peristiwa ini menandai hilangnya kendali Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) di Darfur Utara, sekaligus memperlihatkan betapa parahnya situasi kemanusiaan di negara Afrika tersebut.

Selama lebih dari satu setengah tahun, warga sipil di el-Fasher hidup dalam pengepungan tanpa akses memadai terhadap makanan, obat-obatan, maupun tempat aman untuk mengungsi. Laporan dari Al Jazeera menyebutkan bahwa ribuan penduduk tidak hanya terperangkap, tetapi juga menjadi korban kekerasan brutal dari pihak yang berkonflik.

Menurut data Jaringan Dokter Sudan, lebih dari 1.500 warga sipil tewas hanya dalam beberapa hari setelah RSF menguasai el-Fasher. Organisasi itu juga menuduh RSF melakukan pembantaian sistematik, menyebut tragedi tersebut sebagai kelanjutan dari kekejaman yang telah menewaskan lebih dari 14.000 orang sejak 2023 akibat pemboman, kelaparan, dan eksekusi di luar hukum.

Akar Konflik: Perebutan Kekuasaan antara SAF dan RSF

Konflik di Sudan bermula dari kudeta militer-sipil pada Oktober 2021, yang mengguncang fondasi pemerintahan negara tersebut. Menurut laporan BBC, kudeta ini melibatkan dua tokoh utama: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF sekaligus Presiden Sudan, dan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, yang memimpin pasukan RSF.

Keduanya semula merupakan sekutu dalam menggulingkan pemerintahan transisi. Namun, ketegangan muncul ketika RSF direncanakan untuk digabungkan ke dalam militer nasional. Perselisihan mengenai siapa yang akan memimpin RSF serta arah pemerintahan pasca-transisi menjadi pemicu utama pecahnya perang saudara.

Selain faktor politik, perebutan kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya alam juga menjadi bahan bakar utama konflik. The Guardian mencatat bahwa sejak April 2023, pertempuran antara kedua pihak meluas dari ibu kota Khartoum hingga ke berbagai wilayah lain, termasuk Darfur, yang kini menjadi pusat tragedi kemanusiaan terbesar di Afrika.

Kronologi Terbaru Perang Sudan Hingga Oktober 2025

Perang saudara di Sudan telah berlangsung lebih dari dua tahun, dan puncak eskalasi terbaru terjadi di el-Fasher. Berikut adalah rangkaian peristiwa penting yang menggambarkan situasi terkini.

Pertempuran Berdarah di El-Fasher

Sejak Mei 2024, el-Fasher menjadi titik panas pertempuran antara SAF dan RSF. Laporan The Guardian menyebutkan bahwa pada Agustus 2024, kelaparan massal mulai melanda kamp pengungsian Zamzam, tempat lebih dari setengah juta warga berlindung.

Pada April 2025, RSF melancarkan serangan ke kamp tersebut, menewaskan sekitar 2.000 orang pengungsi. Serangan ini memicu kecaman internasional karena dianggap sebagai bentuk genosida terhadap warga sipil tak bersenjata. Pemerintah Amerika Serikat pun menuduh RSF melakukan tindakan genosida, mengingat akar pasukan ini berasal dari milisi Janjaweed yang terkenal brutal pada masa konflik Darfur awal tahun 2000-an.

RSF Kuasai Wilayah El-Fasher

Setelah mengepung kota selama lebih dari 18 bulan, RSF akhirnya berhasil menguasai seluruh wilayah el-Fasher. Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengakui bahwa pasukannya mundur demi menghindari jatuhnya lebih banyak korban sipil.

Namun, ia menegaskan bahwa tindakan balasan akan segera dilakukan. Dalam pernyataannya, Al-Burhan berjanji tidak akan tinggal diam atas pembunuhan warga Sudan di Darfur Barat.

Laporan Pembunuhan Massal dan Pelanggaran HAM

Pasca perebutan wilayah oleh RSF, laporan mengenai pembunuhan massal bermunculan. Hingga 29 Oktober 2025, sedikitnya 2.000 warga sipil dilaporkan tewas dalam waktu beberapa hari.

Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Yale juga memverifikasi dugaan tersebut lewat citra satelit yang menunjukkan adanya area bercak merah di sekitar bekas rumah sakit di timur el-Fasher—indikasi kuat adanya kuburan massal.

Direktur Analisis Konflik Yale, Caitlin Howarth, menyebut bahwa angka korban tersebut kemungkinan masih jauh dari total sebenarnya. “Kami belum dapat memastikan jumlah pasti, namun ini bukan sekadar konflik, melainkan bencana kemanusiaan besar,” ujarnya.

Dampak Kemanusiaan Perang Sudan

Jutaan Orang Mengungsi

Data dari New York Times memperkirakan bahwa perang saudara di Sudan telah menewaskan lebih dari 400.000 orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi ke negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Ethiopia. Banyak dari mereka kehilangan keluarga, tempat tinggal, dan sumber penghidupan.

Akses Bantuan Terhambat

Badan-badan kemanusiaan internasional kesulitan menyalurkan bantuan karena jalur logistik ditutup oleh pasukan bersenjata. Kondisi ini memperparah krisis pangan dan mempercepat penyebaran penyakit di kamp-kamp pengungsian.

Reaksi Dunia Internasional

Dewan Keamanan PBB telah mengutuk kekerasan yang dilakukan RSF dan SAF, serta mendesak kedua pihak untuk segera menghentikan pertempuran. Namun, hingga kini, upaya gencatan senjata masih menemui jalan buntu karena kedua kubu sama-sama menolak menyerah.

Harapan Perdamaian untuk Sudan

Meskipun situasi tampak suram, berbagai pihak terus mendorong dialog dan perundingan damai. Uni Afrika dan negara-negara Arab berusaha menjadi mediator dalam krisis ini. Namun, tanpa komitmen nyata dari kedua belah pihak, perdamaian di Sudan masih jauh dari kenyataan.

Konflik di Sudan menjadi pengingat keras bahwa perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan nasib rakyat hanya membawa kehancuran. Dunia internasional kini menaruh harapan besar agar kekerasan segera berhenti dan kehidupan warga sipil dapat kembali pulih.

Penutup

Tragedi di el-Fasher adalah cermin dari betapa rapuhnya perdamaian ketika kekuasaan menjadi tujuan utama. Jika tak segera ada penyelesaian, perang ini berpotensi menelan lebih banyak korban dan menghapus generasi masa depan Sudan.

Apakah dunia akan membiarkan sejarah kelam Darfur terulang kembali? Hanya waktu dan keseriusan komunitas internasional yang bisa menjawabnya.

Ikuti Kami di Google News

Related Post