MataBerita – Polemik pernyataan Ribka Tjiptaning mengenai Presiden ke-2 RI Soeharto berujung pada laporan ke Bareskrim Polri. Di sisi lain, sejumlah kader PDI-P menilai pernyataan Ribka terkait tragedi 1965-1966 merujuk pada fakta sejarah yang telah tercatat dalam berbagai laporan resmi. Situasi ini kembali membuka perdebatan lama terkait pelanggaran HAM berat serta kontroversi pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
Guntur Romli Pertanyakan Laporan terhadap Ribka Tjiptaning
Politikus PDI-P Guntur Romli mengaku heran dengan laporan Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) terhadap Ribka. Menurutnya, apa yang disampaikan Ribka soal jumlah korban pembantaian 1965-1966 bukanlah klaim pribadi, melainkan merujuk pada dokumen resmi dan laporan lembaga negara.
Guntur menjelaskan bahwa sejak lama, data mengenai korban tragedi tersebut tercatat dalam penyelidikan Tim Pencari Fakta Komnas HAM. Bagi Guntur, menuduh pernyataan Ribka sebagai hoaks tidak sejalan dengan fakta sejarah yang telah dipublikasikan.
Mengutip Laporan Komnas HAM 2012
Guntur merujuk pada laporan Komnas HAM tahun 2012 yang memperkirakan jumlah korban tragedi 1965-1966 berada pada kisaran 500 ribu hingga 3 juta orang. Laporan itu dijalankan melalui penyelidikan pro justicia berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan direkomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk penyidikan lebih lanjut.
Ia menegaskan bahwa laporan tersebut adalah dokumen resmi negara yang hingga kini menjadi rujukan akademis dan publik.
“Ini penyelidikan resmi Komnas HAM. Bukan klaim yang muncul tiba-tiba,” kata Guntur.
Merujuk Catatan Sarwo Edhi Wibowo
Ia juga mengutip pernyataan Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD pada masa itu, yang menyebut korban pembantaian mencapai 3 juta jiwa. Kutipan tersebut tercatat dalam buku G30S: Fakta atau Rekayasa karya Julius Pour.
Menurut Guntur, catatan sejarah itu menjadi salah satu rujukan yang kerap digunakan dalam diskusi publik mengenai tragedi 1965.
Peran Kopkamtib di Era Soeharto
Guntur menjelaskan bahwa pembasmian terhadap orang-orang yang dicap komunis pada waktu itu dilakukan oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada di bawah komando Presiden Soeharto. Komnas HAM menyebut Kopkamtib sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam operasi penindakan tersebut.
Risiko Pemutihan Pelanggaran HAM
Menurut Guntur, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto berpotensi dipandang sebagai upaya pemutihan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia mengingatkan bahwa pemerintah melalui Presiden Joko Widodo pada tahun 2023 sudah mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa 1965-1966.
Ia juga menyinggung kasus lain seperti Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, DOM Aceh, dan Kerusuhan Mei 1998, yang menurutnya belum sepenuhnya dituntaskan secara hukum.
ARAH Laporkan Ribka Tjiptaning ke Bareskrim Polri
Di pihak lain, Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) resmi melaporkan Ribka ke Direktorat Siber Bareskrim Polri. Laporan tersebut dipicu oleh pernyataan Ribka yang menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat”.
Koordinator ARAH, Iqbal, mengatakan bahwa pernyataan Ribka dianggap menyesatkan dan mengandung unsur ujaran kebencian. Bagi ARAH, pernyataan itu tidak memiliki dasar hukum karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Soeharto terbukti melakukan pembunuhan massal.
“Pernyataan seperti ini bisa menyesatkan informasi publik,” kata Iqbal.
Laporan Berbasis UU ITE
ARAH melaporkan Ribka dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bukti utama laporan tersebut adalah video pernyataan Ribka pada 28 Oktober 2025 yang beredar di media sosial.
Iqbal menegaskan bahwa laporan tersebut bukan atas nama keluarga Cendana.
“Kami dari ARAH, bukan dari pihak keluarga,” ujarnya.
Pernyataan Ribka yang Memicu Polemik
Pernyataan Ribka muncul ketika ia menolak keras usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurutnya, negara belum menyelesaikan pelurusan sejarah dan penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa itu.
“Apa sih hebatnya Soeharto sampai bisa diusulkan jadi pahlawan? Hanya bisa membunuh jutaan rakyat,” ujar Ribka di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Baginya, sebelum memberikan gelar kehormatan, pemerintah harus terlebih dahulu menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965 dan sejumlah kasus di era Orde Baru.
Tuntutan Penuntasan Kasus HAM Berat
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Para pemerhati HAM dan akademisi menilai bahwa selama kasus 1965-1966 tidak dituntaskan, perdebatan publik mengenai tokoh-tokoh masa lalu akan terus berulang, terutama saat menyangkut pemberian gelar pahlawan nasional.
Komnas HAM dalam berbagai kesempatan menyebut penyelesaian kasus HAM membutuhkan keberanian politik serta koordinasi erat antara lembaga penegak hukum.
Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2025/11/12/16555831/ribka-tjiptaning-dilaporkan-akibat-pernyataan-soal-soeharto-politikus-pdi-p








