MataBerita – Pasar saham Indonesia lagi-lagi bikin investor waspada. Saham IHSG anjlok cukup tajam pada perdagangan Selasa (14/10/2025) dan menjadi sorotan utama para pelaku pasar. Dalam satu hari, indeks yang biasanya jadi acuan pergerakan pasar modal nasional ini mengalami tekanan besar dari berbagai faktor, baik global maupun domestik.
Kalau kamu sempat buka aplikasi trading pagi tadi, mungkin sempat kaget melihat angka yang turun drastis. Padahal di awal perdagangan, IHSG sempat menunjukkan sinyal positif. Sayangnya, euforia itu tidak bertahan lama. Sentimen negatif global dan kabar kurang menggembirakan dari dalam negeri membuat investor ramai-ramai menarik dana dari pasar saham.
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di balik IHSG saham yang anjlok hari ini? Apakah ini sinyal awal tren penurunan panjang atau hanya koreksi sesaat setelah reli? Yuk, kita bahas lebih dalam supaya kamu bisa ambil keputusan investasi dengan lebih tenang dan bijak.
IHSG Anjlok 1,95%: Gambaran Perdagangan Hari Ini
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup melemah 1,95% pada Selasa (14/10/2025), rontok 160,67 poin ke level 8.066,52. Padahal, sempat ada harapan karena IHSG sempat menyentuh level tertinggi 8.284,91 di awal perdagangan. Tapi seiring berjalannya hari, tekanan jual makin kuat dan bikin indeks terus turun hingga penutupan.
Berdasarkan data perdagangan, 583 saham melemah, hanya 138 saham yang menguat, dan 84 saham stagnan. Volume transaksi tercatat mencapai 48,25 miliar dengan nilai transaksi sekitar Rp 32,01 triliun. Ini menunjukkan tekanan jual cukup besar, terutama dari investor asing.
Pergerakan negatif ini juga selaras dengan bursa Asia lainnya. Nikkei 225 Index turun 2,82%, Hang Seng Index turun 1,73%, dan Shanghai Composite Index melemah 0,62%. Artinya, pasar global memang sedang tidak dalam kondisi “ramah” bagi aset berisiko seperti saham.
Sentimen Global: Geopolitik dan Kebijakan Ekonomi AS
Ketegangan Geopolitik Menambah Ketidakpastian
Salah satu alasan kenapa IHSG hari ini ikut terseret turun adalah meningkatnya tensi geopolitik global. Ketika ketegangan antar negara naik, investor cenderung menghindari aset berisiko dan beralih ke aset yang lebih aman seperti emas atau obligasi. Ini disebut risk-off sentiment — situasi ketika pelaku pasar cenderung lebih berhati-hati.
Arah Kebijakan Ekonomi AS Jadi Sorotan
Selain faktor geopolitik, arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat juga jadi “biang kerok”. Setelah rilis data inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi, muncul wacana baru soal tarif impor yang bisa memperketat perekonomian global. Dampaknya, investor khawatir akan perlambatan ekonomi dunia, termasuk pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Menurut Analis dari Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Muhammad Wafi, kondisi global ini membuat banyak investor memilih untuk “parkir” uang mereka di tempat aman dulu. “Risk-off sentiment makin kuat gara-gara tensi geopolitik dan kekhawatiran arah ekonomi AS. Jadi banyak investor ambil posisi aman dulu,” ujarnya.
Sentimen Domestik: Defisit APBN Jadi Beban Tambahan
Defisit Melebar ke 1,56% dari PDB
Dari dalam negeri, tekanan tambahan datang dari kabar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membengkak. Per September 2025, defisit APBN mencapai 1,56% dari PDB atau sekitar Rp 371,5 triliun. Angka ini naik dari Agustus yang berada di level 1,35%.
Kabar ini membuat investor waspada. Defisit yang melebar sering diartikan sebagai tekanan fiskal — kondisi di mana pemerintah harus mencari cara tambahan untuk membiayai anggarannya, salah satunya lewat penerbitan surat utang. Jika ini terjadi, minat investor terhadap saham bisa menurun karena imbal hasil obligasi pemerintah cenderung lebih stabil.
Dampak Langsung ke IHSG
Reydi Octa, Pengamat Pasar Modal Indonesia, menyebutkan bahwa defisit APBN bisa mendorong investor untuk beralih dari saham ke obligasi pemerintah yang menawarkan yield tinggi. “Defisit APBN bisa jadi pemberat indeks hari ini karena investor cenderung wait and see dan menunggu penerbitan surat utang pemerintah,” jelasnya.
Faktor Teknikal: Profit Taking dan Net Sell Asing
Aksi Profit Taking Setelah IHSG Cetak Rekor
Secara teknikal, koreksi hari ini juga dipicu oleh aksi profit taking. IHSG beberapa waktu terakhir sudah mencetak level tertinggi sepanjang masa, sehingga wajar banyak investor yang memilih untuk merealisasikan keuntungan mereka.
Hal ini bukan pertanda buruk — justru tanda pasar sedang melakukan konsolidasi. Dalam dunia trading, setelah reli panjang, pasar butuh jeda sejenak sebelum melanjutkan tren berikutnya.
Net Sell Asing Tekan Pasar
Selain profit taking, aksi jual bersih investor asing juga memberi tekanan signifikan. Selama dua minggu terakhir, arus dana asing terus mengalir keluar. Ini memperparah pelemahan IHSG karena investor asing punya porsi kepemilikan besar di pasar saham Indonesia.
Peluang Rebound Masih Terbuka
Meskipun saham IHSG anjlok cukup tajam hari ini, para analis menilai penurunan ini tidak akan berlangsung lama. Menurut Wafi, peluang rebound terbuka lebar jika ada kabar positif dari Federal Reserve (The Fed) atau perbaikan data makroekonomi Indonesia.
“IHSG bisa rebound kalau ada sentimen positif dari global maupun domestik. Koreksi saat ini lebih ke konsolidasi, bukan tanda tren bearish permanen,” katanya. Level support kuat diperkirakan berada di kisaran 7.900–7.950. Jika level ini bertahan, pasar punya peluang memantul ke atas lagi.
Apa yang Bisa Dilakukan Investor?
Kalau kamu investor ritel, situasi seperti ini memang bisa bikin galau. Tapi penting diingat: koreksi pasar bukan berarti akhir dari segalanya. Ini justru bisa jadi momen untuk evaluasi strategi dan mungkin mencari peluang beli di harga yang lebih murah.
Pastikan kamu tidak panik dan tetap fokus pada fundamental emiten yang kamu pegang. Untuk trader jangka pendek, perhatikan level support penting. Sedangkan untuk investor jangka panjang, koreksi seperti ini sering dianggap sebagai discount season.
Kesimpulan: IHSG Turun, Tapi Bukan Akhir Dunia
Kenapa IHSG turun hari ini? Jawabannya: kombinasi sentimen global, defisit APBN, aksi profit taking, dan tekanan jual asing. Namun, kondisi ini bukan pertanda buruk secara permanen. Pasar saham selalu bergerak dalam siklus naik-turun, dan koreksi adalah bagian dari dinamika tersebut.
Jika kamu paham risikonya dan tahu strategi yang tepat, momen seperti ini justru bisa dimanfaatkan. Jadi, tetap tenang, evaluasi portofolio kamu, dan jangan terburu-buru mengambil keputusan karena panik.